Lingkar Pos
Opini

Opini: Aceh, Damai, dan Tanda-Tanya Empat Pulau

Foto: Fahrul Razi

Oleh Fahrul Razi

Sore tadi, di salah satu warkop di jantung Lhoksukon, saya dan beberapa senior terlibat diskusi kecil, membahas kabar hangat yang merangsang kepala siapa pun yang pernah mencintai tanah ini. Di ujung obrolan, tercetus satu kalimat yang terus berputar di pikiran saya: Siapa yang sebenarnya sedang bermain di tanah ini?

Belum genap sebulan lalu, saya menulis opini sederhana: merayakan dua dekade perdamaian Aceh dan mengusulkan agar 15 Agustus, hari bersejarah itu, dipatenkan sebagai hari libur daerah. Dua puluh tahun damai bukan angka kecil bagi negeri yang pernah dirundung konflik panjang, sejak 1974 darah dan air mata menetes di bawah bayang senjata. Kini, dua dekade sudah, Aceh menua dalam teduh. Itulah harapan kita semua.

Namun, betapa terkejutnya saya — dan, saya yakin, banyak orang Aceh — ketika di sela euforia damai itu, tiba-tiba terbit satu keputusan yang mengubah peta: empat pulau yang selama ini diakui masuk dalam teritori Aceh, tiba-tiba dialihkan ke Sumatera Utara. Seantero Aceh pun ‘door’, terhenyak dan tersulut. Kata ‘referendum’ yang lama terpendam, kembali membuncah. Narasi kemerdekaan kembali berseliweran di ruang-ruang diskusi, grup WhatsApp, hingga status para influencer.

Politisi, aktivis, hingga masyarakat awam pun bersuara. Yang mengherankan, biang kerok polemik ini bukan provokasi dari luar, melainkan keputusan administratif dari Kementerian Dalam Negeri. Ironisnya, Menteri Dalam Negeri yang sama, hanya beberapa waktu lalu, saat pelantikan Mualem sebagai Gubernur Aceh pada 12 Februari silam, berdiri di podium Paripurna DPRA dengan pidato sejuk: mengajak semua pihak menjaga stabilitas keamanan dan politik Aceh, seraya memuji Aceh sebagai Serambi Mekkah yang patut dijaga bersama.

Bagaimana mungkin, dalam hitungan bulan, atmosfer sejuk itu disiram percikan api administrasi yang memecah kesepahaman geografis? Apa motif di baliknya? Apakah hanya salah ketik di meja birokrat? Ataukah memang ada rancangan skenario panjang yang sedang berjalan rapi, di bawah nama ‘penataan wilayah’?

Pertanyaan inilah yang menuntun ke tanya yang lebih pedih: Apakah Aceh memang disiapkan untuk terus berperang — berperang dengan ketidakpastian, berperang dengan ketidakadilan, berperang dengan ketidakdamaian?

Pertanyaan paling ekstrem pun muncul di sela obrolan senja: Apakah kami, orang Aceh, benar-benar bagian dari republik ini? Atau kami terlalu berharap untuk diakui sepenuh hati sebagai bagian dari republik ini?

Sebagai anak muda Aceh, saya hanya ingin mengingatkan satu hal sederhana: damai itu mahal. Sejarah mencatat betapa berdarahnya harga yang sudah kita bayar. Menjaga damai tidak cukup hanya dengan pidato di podium. Ia butuh kebijakan yang arif, telinga yang mau mendengar suara rakyat, serta tangan yang tidak mudah goyah oleh kepentingan sesaat.

Empat pulau itu lebih dari sekadar tanah, pasir, dan laut. Ia adalah simbol kedaulatan batin orang Aceh. Ia bukti bahwa perdamaian Aceh bukan sekadar catatan dalam MoU Helsinki, melainkan perjanjian moral dengan rakyat yang berjanji menutup luka lama demi menata masa depan.

Maka hari ini, izinkan saya mengulang satu kalimat di warkop tadi: Siapa yang sebenarnya bermain di tanah ini?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak boleh hanya jadi gosip di sudut warkop. Ia harus dijawab dengan akal sehat, dialog terbuka, dan keberanian mempertahankan yang benar — tanpa harus mengulang masa lalu yang kelam.

Dua puluh tahun damai adalah warisan yang harus dirawat, bukan diuji dengan manuver yang meretakkan kepercayaan. Aceh butuh pengakuan tulus, bukan sekadar ucapan manis di ruang paripurna.

Dan kami, orang Aceh, masih di sini — berdiri di tapal batas negeri — berharap tak lagi hanya menjadi bagian dari republik ini, tapi benar-benar dianggap bagian utuh dari republik ini.

Related posts

Kepala Daerah Tak Gunakan Otak dan Hati Terhadap Kehidupan Rakyatnya

Redaksi

Perkembangan Hadits Sejak Masa KelahiranNya Hingga Saat Ini

admin

NAIK atau TURUN GUNUNG JADI PENYULUH?

Redaksi

Leave a Comment