Lingkar Pos
SastraTrending now

Ratusan Seniman dan Budayawan Aceh Tolak Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024

Foto: Ratusan seniman, budayawan, serta puluhan organisasi seni dan kebudayaan di Aceh menyatakan penolakan terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh Tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 yang diusulkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh

BANDA ACEH | Ratusan seniman, budayawan, serta puluhan organisasi seni dan kebudayaan di Aceh menyatakan penolakan terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh Tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 yang diusulkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh. Forum SUKAT (Suara untuk Kebudayaan Aceh yang Terarah), yang mewakili para seniman dan budayawan, menegaskan bahwa Raqan tersebut tidak mencerminkan akar masalah kebudayaan yang dihadapi Aceh saat ini.

“Qanun ini disusun tanpa partisipasi yang bermakna, dan proses penjaringan aspirasi dilakukan secara tertutup,” ujar Yulfan, juru bicara SUKAT. “Hasilnya, sangat buruk.”

SUKAT mengungkapkan bahwa setelah melakukan evaluasi mendalam terhadap Raqan tersebut, baik dari aspek vertikal (membandingkan dengan peraturan lebih tinggi dan lebih rendah) maupun horizontal (membandingkan dengan peraturan setingkat), mereka menemukan adanya tumpang tindih dengan regulasi lain yang sudah ada. “Jika dibiarkan, Raqan ini akan memicu konflik regulasi, baik secara vertikal maupun horizontal,” tambah Yulfan.

Menurutnya, Raqan ini membuka peluang terjadinya disfungsi hukum, maladministrasi, dan dominasi oleh dinas tertentu yang bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik. Yulfan juga menyoroti bahwa tim perumus Raqan Aceh 2024 tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai definisi operasional dalam penyusunan qanun. “Ini adalah keterampilan mendasar dalam penyusunan sebuah qanun, yang tidak boleh diabaikan,” tegasnya.

Yulfan memperingatkan bahwa jika DPR Aceh dan Kemendagri membiarkan raqan ini lolos tanpa evaluasi mendalam, maka akan muncul potensi ketimpangan dan kerusakan lebih lanjut terhadap kebudayaan dan ekosistem kebudayaan di Aceh. “Ekosistem seni dan budaya di Aceh memang sedang dalam keadaan sekarat,” katanya, “Namun membiarkan raqan ini lolos hanya akan memperburuk situasi.”

Dari segi substansi, SUKAT menilai Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 sangat berbahaya. Sebagai contoh, raqan tersebut tidak memperhitungkan warisan budaya sebagai bagian integral dari alam dan mengabaikan perspektif ekologis dalam upaya pemajuan kebudayaan.

Selain itu, terdapat ketidakjelasan dalam pembagian wewenang antara Badan Pemajuan Kebudayaan dan Dinas Kebudayaan terkait tata kelola cagar budaya. “Ini bisa membuka peluang untuk penggelapan aset cagar budaya,” tambah koordinator SUKAT, Tungang Iskandar.

SUKAT meminta agar DPR Aceh dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengembalikan Raqan tersebut kepada Disbudpar untuk diperbaiki sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik, keadilan, dan inklusivitas.

Alasan lain di balik penolakan SUKAT adalah karena raqan ini tidak berpihak pada ekosistem dan sumber daya kebudayaan Aceh. “Qanun ini tidak disusun untuk kemajuan dan kepentingan kami,” tegas Tungang, “tetapi lebih menguntungkan pelaku bisnis.” Dia juga menambahkan bahwa raqan ini berpotensi mengarah pada pemborosan anggaran.

“Disbudpar adalah salah satu SKPA terbesar dalam mengelola APBA Aceh. Kalau digabung, dalam 5 tahun terakhir Disbudpar mengelola anggaran mencapai setengah triliun rupiah, tetapi tata kelola mereka jauh dari yang diharapkan,” katanya, sembari menyoroti fakta bahwa Disbudpar sering kali memiliki SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) tahunan yang signifikan. SUKAT memberikan contoh, pada tahun 2022, realisasi anggaran Rp198 miliar dari total anggaran Rp206 miliar, dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sekitar Rp8,9 miliar. Sementara itu, pada tahun 2023, realisasi anggaran sebesar Rp128,2 miliar dari anggaran Rp130,7 miliar, dengan Silpa sekitar Rp2,5 miliar.

Dalam siaran persnya, SUKAT juga mengkritisi pernyataan Pj Gubernur Aceh, Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, saat menyampaikan pandangan Pemerintah Aceh mengenai Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 dalam rapat paripurna DPR Aceh. Menurut SUKAT, Raqan ini hanya akan menjadi landasan yang kuat jika disusun melalui partisipasi yang bermakna dan secara substansi mewakili kepentingan ekosistem serta sumber daya manusia kebudayaan dalam arti yang luas.

SUKAT menyoroti tantangan berat yang dihadapi Pj Gubernur Safrizal dalam memperbaiki Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Aceh. SUKAT menyebutkan bahwa pada tahun 2020, IPK Aceh berada di angka 52,61%. “Angka ini menunjukkan bahwa pembangunan kebudayaan di Aceh masih jauh di bawah rata-rata nasional. Meskipun Aceh memiliki potensi kebudayaan yang besar, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal, baik dari aspek pelestarian, ekonomi, maupun partisipasi masyarakat,” jelas Taqiyuddin Muhammad, budayawan Aceh dari MAPESA, yang ikut menyatakan penolakan.

Dia juga menambahkan bahwa angka tersebut mencerminkan lemahnya dukungan Pemerintah Aceh terhadap kebudayaan dan keberagaman ekspresi budaya di Aceh.

Oleh karena itu, SUKAT mendesak Pemerintah Aceh dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera mengevaluasi kinerja Disbudpar, terutama agar dinas ini lebih berpihak pada pengembangan ekosistem kebudayaan Aceh yang telah mengalami kemunduran selama 30 tahun terakhir. Tungang juga mengkritik kelemahan metodologis dalam penyusunan Pokok-Pokok Kebudayaan Daerah (PPKD) oleh Disbudpar yang dijadikan acuan dalam menyusun Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024. “Jika dokumen yang cacat itu dijadikan acuan dalam membangun kebudayaan Aceh, maka Raqan Pemajuan Kebudayaan akan gagal dari awal,” tegasnya.

Sebagai informasi, Rancangan Qanun Aceh tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 merupakan turunan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang diinisiasi oleh Banleg DPRA Periode 2019–2024 dan Pemerintah Aceh.

Forum Suara untuk Kebudayaan Aceh yang Terarah (SUKAT): Tikar Pandan, Labs Aceh Rakitan, Aceh Documentary, Majelis Seniman Aceh, Telaga Art Space, Aceh Bergerak, Sejagat Rangkang Seni Jauhari – GSJ, Lembaga Seuramoe Budaya, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh, Seueng Samlakoë, Kanot Bu Ekosistem, Dewan Kesenian Banda Aceh, Teater Rongsokan, Apotek Wareuna, Masyarakat Pernaskahan Nusantara – Aceh, Asosiasi Tradisi Lisan Cab. Aceh, KSBN Aceh, Katagamba, Markas Sinobi, ⁠Akarimaji, Komunitas Saleum, Komunitas Basajan, Komunitas Beulangong Tanoh, Komunitas Gayo Prasejarah, Komunitas Desember Kopi, KKS Jantho, The Gayo Institute (TGI), Sanggar Kuta Dance Teater, Aseti Sceh (Asosiasi Seniman Tari Indonesia), Seuramoe Teater Aceh ( STA ), Central Culture Simeulue, HipHop NAD Syndicate, Kamp Kulu, ⁠Terace Launge Sabang, Bersabtu Kita Teguh, Khali Tunggal, Forum Peduli Sejarah Islam, dan Ruang Tumbuh.

Selain dari komunitas, juga terdiri dari ratusan seniman dan budayawan Aceh: Nisa R.A, Khairul Fajri Yahya, Jamal Taloe, Mahlizar safdi, Fikar W.Eda, Ampon Nazaruddin, Salman Yoga S, Peteriana kobat, ⁠Ida Fitri, Cut Ratna, Dek Jall, Mahrisal Rubi, Nazar Shah Alam (Apache), Abzari Jafar, Maimunzir (Bang Gaes), Taqiyuddin Muhammad, Azhari Aiyub, Thayeb Lhoh Angen, Azhari Meugit, Zulfikar Taqiyuddin, Ari Palawi, Iskandar Tungang, Chairiyan Ramli, Fozan Santa, Tuah Tharaya, Muhajir Abdul Aziz, Idrus bin Harun, Vandols, Fuady Keulayu, Zulham, Reza Mustafa, Hafiz Polem, Aulinda Wafisa, Jack Monarch, Alam Mirza, Eva Hazmaini, Zulfan, Nova, Hidayatullah, Rizki, Ziki, Raji, Aliyul, Aries Ardian, Achmad Zaki, Imam Saleum, T. Raja Badri, M. Ridho, M.Rais, Farhan Afrijal, T.Raja Ilhamuddin, Mukthi, M.Taupiq Rawal, T Julfajri Tejo, Nainunis Nay, Agusriansyah, Jamaluddin Phonna, Faisal Ilyas, Sarjev, Yusuf Bombang Apa Kaoy, Herman RN, Hermansyah, Saniman, Hamzah, Mizuar Mahdi, Akbar Rafsanjani, Putra Hidayatullah, Adang, Adli, Hasan Kulu, Salaudin, Iswadi Basri, Fariz Albar, Ijuff, Ryan Abu, Feradi, Alfian Mata, Valicha Oja, Rino Abonita, Fuady Mardhatillah, Yusri Ramli, Tauris Mustafa, Reza Idria, Moritza Taher, Said Akram, Muhsin, Djamal Syarif, Al Hari, Jauhari Samalanga, Badudu, Mirza Irwansyah, Allyca Putri Anjani, Arifa Safura, DJ Rencong, Ersada Tarigan, Syarif Al Qahar, Masykur Syafruddin, Ihan Nurdin, Roby Firmansyah, Rahmat Trisnamal, Nurul Fahmi, Ismail Arafah, Saiful Amri, Mariani, Muhammad Noza, Ariski Septian, Rindi P. Putra, Mellyan, Nurkhalis, Meria Ulfa, dan Muliadi.

HASIL KAJIAN TIM HUKUM SUKAT
(SUARA UNTUK KEBUDAYAAN ACEH TERARAH)

Qanun Aceh merupakan instrumen hukum yang vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Sebagai bentuk otonomi khusus, qanun tidak hanya berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang yang lebih tinggi, tetapi juga sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah. Dalam konteks ini, qanun memiliki peran strategis dalam mengatur dan melestarikan kebudayaan lokal, yang merupakan bagian integral dari kebudayaan nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ditegaskan bahwa peraturan daerah, termasuk qanun, harus tunduk pada hierarki perundang-undangan. Hal ini menekankan pentingnya qanun untuk beroperasi dalam koridor hukum yang lebih besar, sekaligus memastikan bahwa nilai-nilai lokal dapat disalurkan secara tepat. Qanun menjadi alat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh dan menjawab kebutuhan mereka dalam konteks yang sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945.

Salah satu aspek krusial dalam pembentukan qanun adalah partisipasi masyarakat. Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2022 menggarisbawahi pentingnya penguatan keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi. Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan Penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga persyaratan; yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Keterlibatan ini tidak hanya memperkuat legitimasi qanun, tetapi juga meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kebijakan yang diambil. Ini adalah langkah penting dalam menciptakan tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel, serta mendukung otonomi daerah yang lebih efektif.

Sebagai bagian dari upaya pemajuan kebudayaan, qanun harus berfungsi untuk melindungi dan mengembangkan keberagaman budaya Aceh. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan menekankan pentingnya kebudayaan sebagai investasi untuk masa depan bangsa. Keberagaman budaya Aceh, yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai luhur, merupakan aset berharga yang tidak hanya memperkaya kebudayaan nasional tetapi juga menambah khazanah budaya dunia. Dengan mempromosikan kebudayaan lokal melalui qanun, Aceh dapat berkontribusi lebih besar dalam konteks kebudayaan nasional. Pengembangan kebudayaan yang melibatkan masyarakat, pelaku seni, dan pemangku kepentingan lainnya akan menghasilkan sinergi yang kuat untuk melestarikan identitas budaya Aceh.

Oleh karena keterlibatan ini merupakan bagian dari partisipasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan maka Suara Untuk Kebudayaan Aceh Terarah (SUKAT) perlu melihat secara objektif terkait Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 dan memberikan catatan kritis. Berikut hasil reviu dan analisis tim hukum SUKAT:

  1. Bahwa Materi Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 merupakan hasil penggabungan antara Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, penggabungan ini mengakibatkan ketidaksesuaian dengan azas kejelasan tujuan, azas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang sudah diubah oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2019  yang  kemudian  diubah  menjadi  Undang-Undang  No.  13  Tahun  2022  Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  2. Bahwa Ketentuan umum dalam Pasal 1 Raqan tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 tidak sesuai dengan Ketentuan Umum yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun   2017   tentang   Pemajuan   Kebudayaan,   yakni   terkait   definisi,   perlindungan, pengembangan,  pemanfaatan,  dan  pembinaan.  Pasal  dimaksud  bertentangan  dengan definisi objek pemajuan kebudayaan yang terdapat dalam Raqan dimaksud. Akibat dari ketidaksesuaian definisi mengakibatkan pasal 1 ini bertentangan dengan azas kejelasan rumusan dan azas dapat dilaksanakan seperti yang terdapat dalam pasal 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karena bertentangan dengan asas pembuatan peraturan perundang-undangan, maka rancangan qanun Pemajuan Kebudayaan Aceh berpotensi terjadi perbenturan kewenangan antar lembaga terkait baik secara vertikal maupun secara horizontal;
  3. Bahwa Pasal 5 dalam Raqan tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 memperluas ruang lingkup Raqan, diantaranya pengaturan tentang taman budaya, PKA, dan Dewan Pemajuan Kebudayaan Aceh, seharusnya materi tersebut diatur dalam turunan qanun yang bersifat teknis (Peraturan Gubernur/Keputusan Gubernur);
  4. Bahwa Pasal 8 Raqan tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 bertentangan dengan pasal 32 huruf g Qanun No. 10 Tahun 2019 Tentang Wali Nanggroe. Penyebutan dinas dalam pasal 8 Raqan bertentangan dengan definisi Pengarusutamaan kebudayaan dalam ketentuan umum. Yang mana Pengarusutamaan menyebutkan, Pengarusutamaan kebudayaan adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan; serta rangkaian kebijakan yang memperhatikan perlindungan, pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan dan pembinaan kebudayaan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta Non Pemerintah;
  5. Bahwa Pasal 12 huruf g tentang penyelenggaraan even-even reguler kebudayaan Aceh, pengembangan bulan bahasa, aksara dan sastra Aceh tidak perlu diatur dalam materi Raqan cukup diatur dalam peraturan gubernur, keputusan gubernur atau program kerja pemerintahan/dinas terkait. Kemudian Pasal 12 dan 13 tentang tugas dan wewenang Raqan tentang  Pemajuan  Kebudayaan Aceh  Tahun  2024  hanya  mengurusi  perihal  pemajuan kebudayaan saja bukan cagar budaya, karena hal itu bukan landasan utama lahirnya rancangan qanun Pemajuan Kebudayaan Aceh tahun 2024, yang merupakan turunan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan;
  6. Bahwa Pasal 44 menguntungkan pelaku bisnis dan pengaturannya terlalu teknis seharusnya hal tersebut cukup diatur peraturan-peraturan di tingkat dinas dan atau lembaga pemerintah lainnya;
  7. Bahwa Pasal 91 ayat 2 tentang taman budaya Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3) terdapat keambiguan mengenai taman budaya sebagai tempat dan fasilitas atau sebagai struktur kerja pemerintahan (UPTD);
  8. Bahwa pasal 95, 119 dan 129, Pekan Budaya Aceh, Dewan Pemajuan Kebudayaan Aceh dan Taman Sultanah Shafiatuddin bukan muatan qanun, karena hanya memuat hal-hal teknis yang bisa dimuat dalam peraturan dinas atau peraturan setingkat lainnya.

Demikian beberapa catatan kritis SUKAT terhadap Raqan tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 Proses evaluasi Rancangan Qanun (Raqan) merupakan langkah krusial dalam memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, masyarakat memiliki hak untuk memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini menegaskan bahwa partisipasi  masyarakat  bukan  hanya  sekadar  formalitas,  melainkan  merupakan  komponen esensial dalam proses legislasi. Partisipasi SUKAT dalam proses evaluasi Raqan adalah keharusan untuk menciptakan qanun yang responsif dan berdaya guna. Melalui berbagai metode yang telah diatur dalam perundang-undangan, masyarakat memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka dan berkontribusi secara aktif. Dengan memastikan bahwa suara masyarakat terdengar dalam setiap tahap proses legislasi, Partisipasi tidak hanya memenuhi ketentuan hukum, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk tata pemerintahan yang lebih baik.[]

Related posts

Pemda Aceh Utara dan KIP Sepakati Hibah Rp 74 Miliar Sukseskan Pilkada

Redaksi

Tiba di Polda Aceh, Penyidik Langsung Periksa Abu Laot

Redaksi

Bener Meriah Serap Realisasi Anggaran Tertinggi Tahun 2022

admin

Leave a Comment