Eks Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Pase, Syardani Muhammad Syarif atau yang akrab disapa Teungku Jamaika. (Photo : ist)
ACEH | LINGKAR-POS.COM— Eks Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Pase, Syardani Muhammad Syarif atau yang akrab disapa Teungku Jamaika, kembali melontarkan kritik tajam terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2025.
Menurutnya, banyak program yang dijalankan Pemerintah Aceh saat ini tidak memiliki arah yang jelas, jauh dari kepentingan rakyat, dan lebih didominasi oleh kepentingan segelintir elit birokrasi.
Dalam keterangannya kepada media pada Sabtu (02/08/2025), Jamaika mendesak Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), untuk segera mengevaluasi seluruh kegiatan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), khususnya yang tidak realistis dan tidak memiliki dampak langsung terhadap masyarakat luas.
“Kegiatan yang tak masuk akal, tak bisa diselesaikan dalam sisa waktu empat bulan, dan tak memberi manfaat langsung bagi rakyat, lebih baik dihentikan. Jangan paksakan yang tidak bisa dipaksakan, karena itu hanya akan menghasilkan pemborosan dan potensi korupsi,” tegas Jamaika.
Teungku Jamaika menilai kelemahan utama dalam pelaksanaan APBA tahun ini terletak pada tahap perencanaan. Ia mengungkapkan banyak program disusun hanya untuk menggugurkan kewajiban formal, tanpa studi kelayakan yang memadai serta tanpa melibatkan partisipasi publik.
“Banyak program yang hanya bagus di atas kertas, tapi nol hasilnya di lapangan. Ini menunjukkan perencanaan yang lemah dan semangat birokrasi yang tidak sungguh-sungguh ingin membawa perubahan. Hanya indah di proposal, tapi tidak menyentuh rakyat,” ujar Jamaika.
Ia menyebutkan bahwa semangat otonomi khusus Aceh yang seharusnya menjadi instrumen perubahan sosial, kini justru dikerdilkan oleh pola kerja birokrasi yang elitis dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat bawah.
Jamaika juga memberikan masukan konkret kepada Pemerintah Aceh agar program-program yang tidak realistis dibiarkan menjadi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) dan digunakan kembali dalam APBA-P 2025 atau APBA 2026 dengan perencanaan yang lebih matang dan berbasis kebutuhan riil masyarakat.
“Kalau memang program itu tidak realistis, biarkan saja jadi SILPA. Jangan dipaksakan hanya demi mengejar target serapan anggaran. Ujung-ujungnya bisa jadi proyek mangkrak atau tidak bermanfaat sama sekali. Ini bukan soal angka, ini soal integritas,” katanya.
Menurutnya, mengejar serapan anggaran tanpa mempertimbangkan dampak dan efektivitas justru bisa menjadi jebakan hukum yang membahayakan posisi Gubernur dan jajaran.
Dalam pernyataannya yang cukup berani, Jamaika juga memperingatkan langsung Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf untuk lebih hati-hati dalam menandatangani kontrak-kontrak kegiatan APBA. Ia menilai potensi kesalahan dalam tahapan perikatan kerja bisa menjadi bumerang hukum di kemudian hari.
“Saya tegaskan, jangan mudah tergoda untuk menandatangani proyek-proyek yang bermasalah. Kalau salah tanda tangan, bisa berujung penjara. Banyak gubernur dan bupati jatuh karena tanda tangan sembarangan. Mualem harus belajar dari kasus-kasus itu,” tandasnya.
Jamaika juga menyindir kinerja sebagian besar Kepala SKPA yang dinilainya tidak memiliki kepekaan sosial dan gagal mengidentifikasi kebutuhan riil masyarakat Aceh. Ia menyebutkan bahwa banyak program lahir dari keinginan pribadi atau kelompok tertentu, bukan berdasarkan riset, konsultasi publik, atau kebutuhan yang terverifikasi.
“Sudah saatnya Gubernur mencopot Kepala SKPA yang tidak mampu bekerja cepat dan tepat. Jangan biarkan Aceh terus dikendalikan oleh orang-orang yang hanya memikirkan proyek, bukan pembangunan. Kalau ingin perubahan, ya mulai dari orangnya dulu,” katanya tajam.
Menjelang akhir tahun anggaran 2025, Teungku Jamaika mengingatkan bahwa waktu yang tersisa harus digunakan sebaik mungkin untuk melakukan konsolidasi dan penataan menyeluruh.
Ia berharap Pemerintah Aceh benar-benar belajar dari kekeliruan tahun ini dan menyusun APBA 2026 dengan pendekatan yang lebih berpihak kepada rakyat.
“Jangan warisi kegagalan tahun ini untuk tahun depan. Mulai dari nol, bersih-bersih, dan susun program yang bisa menyentuh langsung masyarakat. Bukan sekadar proyek seremonial yang menguntungkan segelintir pihak,” tegasnya.
Jamaika menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, serta keterlibatan publik dalam setiap proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Ia berharap suara-suara kritis seperti dirinya bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan yang nyata, bukan hanya tambal sulam.(alman)